Minggu, 30 Juli 2017

CERITA FIKSI

Cerita Fiksi
KELUARGA BADAL

Sudah tidak ada rasa sayang sesama saudara, mestinya periuk yang kosong diisi air agar tidak gosong, sementara kompor masih menyala belum bisa memadamkanya. Jika benar merasa satu keluarga mestinya tidak tega saudaranya difitnah dan dianiaya. Ini malah sebaliknya, kompor diperbesar apinya.

Sepenggal kejadian pada keluarga Badal menyisakan iris tangis luka yang membawa dendam di kemudian hari. Sradal sebagai anak tertua tidak bisa menjaga marwah keluarganya, malah ikut menghakimi adiknya yang lagi pailit dalam usaha. Seolah-olah menasehati dengan bijaksana ternyata Sradal ingin menguasai semua harta warisan orang tuanya.

Badal selaku orang tua tidak bisa berbuat banyak melihat 4 orang anaknya bersengketa berebut warisan harta. Sudah lama Badal menderita strok sejak memasuki usia senja. Badal hanya bisa meneteskan air mata tatkala melihat pertengkaran anak-anaknya. Istrinya sudah duluan meninggal setelah anak kembarnya memasuki sekolah SMP. Kematian Istri Badal di sebabkan komplikasi dari penyakit diabetes.

Awal cerita Badal seorang pengusaha ternama di kampung Dadap. Sejak kecil Badal terkenal anak trengginas, lincah dan ulet, hal itu terbentuk dari kondisi keluarga yang serba kekurangan. Memaksa Badal kerja keras melihat segala peluang yang menghasilkan uang. Pada usia 25 tahun Badal akhirnya sukses mendirikan CV. Kencana Ungu. Badan usaha yang bergerak di bidang pengadaan dan jasa. CV milik Badal termasuk CV yang disegani du kalangan kontraktor, hampir semua tender bisa dimenangkan kalo dia minat. Tentu saja dengan cara yang tidak benar menurut aturan.

Dipuncak kejayaan CV milik Badal membukukan laba 8 M, sebuah angka yang sangat besar kala itu. Badal pun mampu beli rumah, mobil, sapi dan buka usaha baru. Pada saat itu pula Badal menikah, mengakhiri masa lanjang dengan gadis yang ia temukan di sebuah salon kecantikan. Dari pernikahannya Badal dikaruniai 4 orang anak, 3 laki-laki 1 perempuan. Sebenarnya anak Badal ada lima orang anak, yang pertama meninggal ketika masih balita yang bernama Wadal.

Sradal sebagai anak laki-laki pertama sangat dimanja ketika kecil. Setiap permintaan dan keinginannya selalu di penuhi. Pendidikan Sradal tidak tamat SMP, putus sekolah dikeluarkan gara-gara sering malak teman-temanya di sekolahan. Tidak hanya itu Sradal sering kedapatan guru membawa minuman keras dan senjata tajam di dalam tasnya. Setelah tidak sekolah Sradal di kasih usaha orang tuanya ternak sapi.

Sementara anak kedua Badal perempuan yang bernama Saridal. Anak keduanya ini lumayan tingkat pendidikanya lulus SMk jurusan tatarias. Saridal memang anak kesayangan ibunya, sejak kecil sudah sering diajak ke salon kecantikan usaha keluarga yang dikelola ibunya dan kelak menjadi usaha Saridal.

Kedua anak Badal yang masih SD laki-laki semua, kebetulan mereka berdua lahir kembar, hanya selisih umur 1 jam. Anak kembarnya diberi nama Badil dan Badul. Sejak melahirkan si kembar,  istri Badal sudah jarang ke salon, semua di serahkan ke Saridal yang kebetulan sudah lulus SMK, sesuai dengan jurusan dan pekerjaannya.

BERSAMBUNG ( sudah ngantuk)
Btg21Juli2017
Husain

Sabtu, 22 Juli 2017

GEMBOK SIAL

GEMBOK SIAL

Waktu berkunjung ke gubuk di ladang. Saya terkejut dengan suara berdecit bersahutan, pikiran saya langsung pada tikus-tikus yang bersarang.

Aku buka gembok yang sudah karatan, agak susah memasukan anak kunci dan mengulirkan. Kemudian aku cabut kembali kunci itu dari gembok karena takut patah kuncinya. Setelah aku masukan lagi sama susahnya, kemudian aku cabut lagi kunci itu. Berhubung tidak ada pelicin seperti oli atau minyak goreng aku ludahi kunci itu agar licin. Ternyata sehabis aku ludahi masuk agak gampang, tinggal mengulirnya yang susah sampai pertengahan jari telunjuku terasa perih hampir lecet itu pun gembok juga belum terbuka.

Istirahat sambil berfikir bagaimana caranya membuka gembok itu. Terlintas pikiran pulang kembali ambil palu tapi tidak mungkin karena jarak kebun sama rumah lumayan jauh. Ketika duduk sambil ngudut, muncullah ide untuk membakar gembok tersebut. Segera aku kumpulkan ranting dan daun di sekitar gubuk, terkumpul mencukupi untuk membakar gembok.

Prosesi pembakaran pun aku mulai dengan menyalakan daun-daun kering dan potongan-potongan ranting yang ditopang batang kayu yang persis tingginya di bawah gembok. Tidak lama api sudah menyala, daun dan ranting benar-benar kering karena hampir satu bulan tidak ada hujan.

Aku lihati api menyala tepat mengenai gembok. Aku tunggu agar karat-kara atau kotoran di lobang kunci pada rontok. Setelah beberapa waktu aku tunggu padamlah api itu, gembok terlihat menghitam karena gosong. Aku tunggu sampai gembok dingin. Setelah panasnya berkurang aku pegang gembok denga  beberapa lapis daun, aku masukan kunci dengan pasti, setelah masuk aku ulir kunci ternyata tetap keras. Hampir putus asa aku dibuatnya.

Dalam pikiranku, mungkin kurang lama proses pembakaranya sehingga panasnya tidak mampu merontokan kerak dan kotoranya. Apa salahnya bila aku coba membakarnya sekali lagi dengan api yang agak besar dan agak lama. Kembali aku kumpulkan daun dan ranting kering  dengan jumlah tiga kalilipat.

Setelah terkumpul daun dan ranting kering, aku tata di atas tumpukan bara yang hampir mati pada kayu yang aku letakan tepat di depan pintu dimana gembok itu berada. Kali ini posisi gembok tidak di atas nyala api akan tetapi di tengah-tengan tumpukan daun dan ranting. Selesai aku tata, mulailah aku bakar dengan sekali menyulutkan api dengan korek gas. Tidak membutuhkan waktu lama, sekali sulut langsung menyala.

Api sudah menyala pelan merayap pasti diiringi jelaga dan jilatan api memumbung mengenai langit-langit gubuk yang terbuat dari kayu. Aku pandangi jelaga dan jilatan apinya tidak membahayakan langit-langit gubuk. Menunggu proses pembakaran gembok yang lagi berjalan, aku istirahat masuk kendaraan yang aku parkir di pingir jalan, sekalian ngudud sama ngopi bekal yang aku bawa.

Menikmati kopi dan rokok di siang hari di pinggir jalan sambil memandang perkebunan yang membentang sangat menyenangkan. Seolah-olah telah lepas dari beban keseharian, sambil berhayal sesekali nyeruput kopi, asap mengebul dari mulutku aku hisap dalam-dalam dan aku keluarkan asapnya kembali dengan rasa penuh kemenangan. Aku rasakan nikmatnya hidup ini tanpa hutang berteman kopi dan rokok  memandang ladang perkebunan suatu kenikmatan yang tidak ada di perkotaan.

Dalam lamunan tergambar kehidupan masa depan yang menyenangkan. Kebun ini nanti akan menjadi penompang kehidupan masa depan, kalo perlu tinggal digubuk sendiri buah-buahan, sayuran dan ikan sudah tersedia semua. Pada puncak lamunan, aku dikejutkan suara lutusan yang mengelegar. Buru-buru aku loncat dari kendaraan lari menuju arah gubuku tanpa mengunci pintu kendaraan dan tanpa membawa apa-apa. Lari sekuat tenaga menerabas ilalang dan ranting-ranting yang menjulur di jalan setapak arah kebunku. Aku lihat asap hitam membumbung api kuning kemerahan menjilat-njilat keangkasa, gubuku terbakar.

Sesampainya di kebun aku lihat gubuk sudah terbakar. Tersisa dinding separo dan atap sudah jatuh terbakar jadi bara, tidak ada pemadam dan pertolongan. Orang-orang kampung pasti mengira kebakaran hutan. Itu biasa saja, karena setiap pembukaan lahan perkebunan biasa dibakar, irit tenaga dan biaya.

Aku lihati gubuku yang biasa aku pakai menepi, sekarang sudah tidak ada lagi, tinggal puing yang membara dan arang yang masih mengeluarkan asap. Kompor gas yang biasa aku pakai masak meledak tinggal besi yang tidak membentuk lagi. Dan tikus-tikus penghuni gubuk ini pasti sudah pada mati terbakar atau kena ledakan tabung gas pikirku saat menganalisa sisa-sisa kebakaran.

Ada  satu benda yang aku cari sebagai tertuduh penyembab kebakaran adalah gembok. Aku cari gembok penyebab kebakaran itu di reruntuhan arang, aku sibak tumpukan arang dengan ranting. Aku temukan dia terpangang hitam mengeluarkan asap panas. Aku tunggu sampai dingin, aku tetap penasaran bagaimana caranya bisa membuka gembok tadi, setalah menelan satu korban gubuk. Dengan sabar aku ambil kunci disaku aku coba memasukanya dilobang kunci gembok, dengan penasaran aku putar ke kanan ke kiri gembok juga tidak terbuka. Akhirnya dengan rasa menyesal aku lemparkan gembok itu diantara semak belukar.

Btg20Jli2017
Hsn

google-site-verification: google0a459c5ae92c6f5c.html

google-site-verification: google0a459c5ae92c6f5c.html