Sabtu, 22 Juli 2017

GEMBOK SIAL

GEMBOK SIAL

Waktu berkunjung ke gubuk di ladang. Saya terkejut dengan suara berdecit bersahutan, pikiran saya langsung pada tikus-tikus yang bersarang.

Aku buka gembok yang sudah karatan, agak susah memasukan anak kunci dan mengulirkan. Kemudian aku cabut kembali kunci itu dari gembok karena takut patah kuncinya. Setelah aku masukan lagi sama susahnya, kemudian aku cabut lagi kunci itu. Berhubung tidak ada pelicin seperti oli atau minyak goreng aku ludahi kunci itu agar licin. Ternyata sehabis aku ludahi masuk agak gampang, tinggal mengulirnya yang susah sampai pertengahan jari telunjuku terasa perih hampir lecet itu pun gembok juga belum terbuka.

Istirahat sambil berfikir bagaimana caranya membuka gembok itu. Terlintas pikiran pulang kembali ambil palu tapi tidak mungkin karena jarak kebun sama rumah lumayan jauh. Ketika duduk sambil ngudut, muncullah ide untuk membakar gembok tersebut. Segera aku kumpulkan ranting dan daun di sekitar gubuk, terkumpul mencukupi untuk membakar gembok.

Prosesi pembakaran pun aku mulai dengan menyalakan daun-daun kering dan potongan-potongan ranting yang ditopang batang kayu yang persis tingginya di bawah gembok. Tidak lama api sudah menyala, daun dan ranting benar-benar kering karena hampir satu bulan tidak ada hujan.

Aku lihati api menyala tepat mengenai gembok. Aku tunggu agar karat-kara atau kotoran di lobang kunci pada rontok. Setelah beberapa waktu aku tunggu padamlah api itu, gembok terlihat menghitam karena gosong. Aku tunggu sampai gembok dingin. Setelah panasnya berkurang aku pegang gembok denga  beberapa lapis daun, aku masukan kunci dengan pasti, setelah masuk aku ulir kunci ternyata tetap keras. Hampir putus asa aku dibuatnya.

Dalam pikiranku, mungkin kurang lama proses pembakaranya sehingga panasnya tidak mampu merontokan kerak dan kotoranya. Apa salahnya bila aku coba membakarnya sekali lagi dengan api yang agak besar dan agak lama. Kembali aku kumpulkan daun dan ranting kering  dengan jumlah tiga kalilipat.

Setelah terkumpul daun dan ranting kering, aku tata di atas tumpukan bara yang hampir mati pada kayu yang aku letakan tepat di depan pintu dimana gembok itu berada. Kali ini posisi gembok tidak di atas nyala api akan tetapi di tengah-tengan tumpukan daun dan ranting. Selesai aku tata, mulailah aku bakar dengan sekali menyulutkan api dengan korek gas. Tidak membutuhkan waktu lama, sekali sulut langsung menyala.

Api sudah menyala pelan merayap pasti diiringi jelaga dan jilatan api memumbung mengenai langit-langit gubuk yang terbuat dari kayu. Aku pandangi jelaga dan jilatan apinya tidak membahayakan langit-langit gubuk. Menunggu proses pembakaran gembok yang lagi berjalan, aku istirahat masuk kendaraan yang aku parkir di pingir jalan, sekalian ngudud sama ngopi bekal yang aku bawa.

Menikmati kopi dan rokok di siang hari di pinggir jalan sambil memandang perkebunan yang membentang sangat menyenangkan. Seolah-olah telah lepas dari beban keseharian, sambil berhayal sesekali nyeruput kopi, asap mengebul dari mulutku aku hisap dalam-dalam dan aku keluarkan asapnya kembali dengan rasa penuh kemenangan. Aku rasakan nikmatnya hidup ini tanpa hutang berteman kopi dan rokok  memandang ladang perkebunan suatu kenikmatan yang tidak ada di perkotaan.

Dalam lamunan tergambar kehidupan masa depan yang menyenangkan. Kebun ini nanti akan menjadi penompang kehidupan masa depan, kalo perlu tinggal digubuk sendiri buah-buahan, sayuran dan ikan sudah tersedia semua. Pada puncak lamunan, aku dikejutkan suara lutusan yang mengelegar. Buru-buru aku loncat dari kendaraan lari menuju arah gubuku tanpa mengunci pintu kendaraan dan tanpa membawa apa-apa. Lari sekuat tenaga menerabas ilalang dan ranting-ranting yang menjulur di jalan setapak arah kebunku. Aku lihat asap hitam membumbung api kuning kemerahan menjilat-njilat keangkasa, gubuku terbakar.

Sesampainya di kebun aku lihat gubuk sudah terbakar. Tersisa dinding separo dan atap sudah jatuh terbakar jadi bara, tidak ada pemadam dan pertolongan. Orang-orang kampung pasti mengira kebakaran hutan. Itu biasa saja, karena setiap pembukaan lahan perkebunan biasa dibakar, irit tenaga dan biaya.

Aku lihati gubuku yang biasa aku pakai menepi, sekarang sudah tidak ada lagi, tinggal puing yang membara dan arang yang masih mengeluarkan asap. Kompor gas yang biasa aku pakai masak meledak tinggal besi yang tidak membentuk lagi. Dan tikus-tikus penghuni gubuk ini pasti sudah pada mati terbakar atau kena ledakan tabung gas pikirku saat menganalisa sisa-sisa kebakaran.

Ada  satu benda yang aku cari sebagai tertuduh penyembab kebakaran adalah gembok. Aku cari gembok penyebab kebakaran itu di reruntuhan arang, aku sibak tumpukan arang dengan ranting. Aku temukan dia terpangang hitam mengeluarkan asap panas. Aku tunggu sampai dingin, aku tetap penasaran bagaimana caranya bisa membuka gembok tadi, setalah menelan satu korban gubuk. Dengan sabar aku ambil kunci disaku aku coba memasukanya dilobang kunci gembok, dengan penasaran aku putar ke kanan ke kiri gembok juga tidak terbuka. Akhirnya dengan rasa menyesal aku lemparkan gembok itu diantara semak belukar.

Btg20Jli2017
Hsn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

google-site-verification: google0a459c5ae92c6f5c.html

google-site-verification: google0a459c5ae92c6f5c.html